Kamis, 09 Desember 2010

Sabar.. (1)

Nilai kolokium belum keluar juga..
Sabar..

Skripsi belum selesai juga..
Sabar..

Kuliah belum lulus juga..
Sabar..

Belum dapet kerjaan juga (minimal part time lah)..
Sabar..

Banyak amanah yang harus diselesaikan dan belum selesai juga..
Sabar..

Sangat ingin mendapatkan sesuatu yang diimpikan tapi belum dapat juga..
Sabar..

Sabar..
Sabar..
Sabar..
...

Jangan mengeluh..

Senin, 06 Desember 2010

Doa Mencari Jodoh (joke)

Ya Allah jika dia memang jodohku dekatkanlah...

Tapi jika dia bukan jodohku jodohkanlah...

Jika dia tidak berjodoh denganku
maka jadikanlah kami berjodoh...

Jika dia bukan jodohku
jangan sampai dia dapat jodoh yang lain selain aku...

Jika dia jodoh org lain 
putuskanlah
jodohkanlah denganku...

Hwahahahahahahaha.....
Maksa banget...!!!

from: MyQ Forum

Penyulut Harapan

Aku dan sepiku, berjalan menyusuri jalan setapak
Terseok-seok...
Tertatih-tatih...
Sakit rasanya...
Pahit rasanya...
Ditengah jalan kutemukan sebuah topeng
Topeng "SMILE"...
Ia tersenyum padaku
Seolah ia berkata,"Pakailah aku, maka orang lain takkan tahu apa yang terjadi padamu, denganku kamu akan bisa menyenangkan orang lain,dan itu pahala bagimu,Tuhan mu pasti senang..."
Maka ku pakai topeng itu
Tapi kemudian...
Topeng:"Ikhlaskanlah hatimu, jadilah orang yang selalu bisa bersabar, dan pandai-pandailah bersyukur..."
Aku:"Baiklah..."
Kulanjutkan perjalanananku bersama topeng "SMILE", menyusuri jalan setapak yang berhiaskan batu kerikil nan tajam, dikelilingi jurang yang teramat sangat dalam dan gelap, dan berlukiskan fatamorgana kenikmatan Tapi aku sangat yakin, didepan sana ada suatu tempat, yang maha indah, yang tak bisa terbayangkan...
Ya, aku sangat yakin itu...
Kuatkan aku Ya Rabb...
Bismillah...

"Aku Mencintaimu, Suamiku..." (Seorang istri yang luar biasa, Subhanallah...)

Sebuah kisah perjalanan cinta yang mengharukan
Cerita Nyata!!
Cerita ini adalah kisah nyata... dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya. Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua. (Dengan sedikit gubahan latar belakang tokoh/pencerita)

==================================================================
Cinta itu butuh kesabaran...
Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. Aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita... Aku menjadi perempuan yg paling bahagia... Pernikahan kami sederhana namun meriah... Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu... Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci... Aku sangat bahagia dengannya, dan dia juga sangat memanjakan aku... Sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku. Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktubegitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saatini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami. Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku... Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA. Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku... Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku,aku dihina-hina oleh mereka... Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalamikecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu. Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al –Qur'an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan. Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku. Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, "Assalammu'alaikum" dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah5 hari mata nya selalu tertutup.Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelahaku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata "Assalammu'alaikum", ia punmenjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku punsenyum melihat wajahnya.Lalu.. Ibu nya berbicara denganku ..."Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri". Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya,perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya. Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, "Lebih baik kau pulang saja, adakami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja." Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan aban gharus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku.Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan halyang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang takber pamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembalidari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk diayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam airmancur itu.Aku bertanya, "Ada apa kamu memanggilku?" Ia berkata, "Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang" Aku menjawab, "Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu ditravel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?" "Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku", jawabnya tegas. "Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?",tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya. "Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti", jawabnya tegas."Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?", lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya. Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku. Kemudian aku memutuskan agar ia saja yang pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini. Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akandibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku,lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-samakemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya. Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya pada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang. Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti dililit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3. Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi.. Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku. Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya,"kapankah ia segera pulang?" aku tak tahu.. Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku.. Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnyakhawatir selama ia berada di Sabang.Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan ceritapa danya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung... Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-fotokami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk. Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.Ia menulis, "Aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi,aku akan kabarin lagi". Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yang aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini. Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, akumembungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku takmau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya.. Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku.. Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaannya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku padatempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu berjama'ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka'at.

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya daribalkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi. Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku? Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, "Loe pikir aja sendiri!!!". Telpon pun langsung terputus. Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku. Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggungjawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah. Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantanpacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdo'a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiapkan segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir. Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku. Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku."Ya, ada apa Yah!" sahutku dengan memanggil nama kesayangannya "Ayah". "Lusa kita siap-siap ke Sabang ya."  Jawabnya tegas. "Ada apa? Mengapa?", sahutku penuh dengan keheranan. Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami. Dia mengatakan "Kau ikut saja jangan banyak tanya!!" Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa. Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidak hormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini.. Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya. Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yang berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda. Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan. "Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha". Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam. "Ada apa ya Nek?" sahutku dengan penuh tanya.. Nenek pun menjawab, "Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!". Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku? "Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau." Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua. Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya."Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya", neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin akupeluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu. Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, "Kau maunya gimana? Kau dimadu atau diceraikan?" MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku.. Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di Pulau Kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini."Fish, jawab!" Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab. Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas. "Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami." Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suamiku, "Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?" Suamiku menjawab, "Dia Desi!" Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, "Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?" Ayah mertuaku menjawab, "Pernikahannya 2 minggu lagi" "Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok" Setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku.. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini? Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, "Sudah tidak cantikkah aku ini?" Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya. Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri di belakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermi nmeja rias itu.Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, "Terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti!Iya kan?" Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo. Dalam hatiku bertanya, "Mengapa ia sangat cuek?" dan ia sudah tak memanjakan ku lagi. Lalu dia berkata, "Sudah malam, kita istirahat yuk!" "Aku sholat isya dulu baru aku tidur", jawabku tenang. Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku. Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku save di MyDocument yang bertitle "Aku Mencintaimu Suamiku."Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku. "Apakah kamu sudah siap?" Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata, "Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do'a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..", perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menangis meledak. Tiba-tiba suamiku menjawab, "Lalu apa Bunda?" Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar... "Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?", pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar. Dia mengangguk dan berkata, "Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?", sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja. Dia tersenyum sambil berkata, "Kita liat saja nanti ya!" Dia memelukku dan berkata, "Bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama" Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, "Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah" Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata,"Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah" Saat itu juga, diangkatnya badanku.. Ia hanya menangis. Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, "Bunda baik-baik saja kan?" tanyanya dengan penuh khawatir. Aku pun menjawab, "Bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang". Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, "Ayah jangan!!", tapi aku ingat akan kondisiku. Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya... aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu..hatiku menangis. Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencucikakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi. Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana. Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah,tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget "Kamu datang ke sini, aku pun tahu", ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, "Maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku" Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.. Suamiku berbisik, "Bunda kok kurus?" Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, "Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?" "Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois" Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu. Lalu suamiku berkata, "Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat "seperti itu" dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip ("sepertiitu"). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalaubunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda" Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan didirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini. Aku hanya menjawab, "Aku sudah ceritakan itu kan Yah? Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu" Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

Keesokan harinya... Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.. Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku.. Aku merasakan tanganku basah.. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, "Bunda, Ayah minta maaf..." Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku? Aku berkata dengan suara yang lirih, "Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah.." "Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah... !!! Bunda sayang banget sama Ayah" Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. Aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata. Sebelum mata ini tertutup, ku lafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil. Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku.. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka.. Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku. Untuk Ibu mertuaku: "Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo'a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya."

****************************************************************************************
Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku:

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ayah,mengapa keluargamu sangat membenciku? Aku dihina oleh mereka ayah. Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu? Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah.. Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah? Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah.. Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku. Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah.. Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya.. Aku tak mau sakit hati lagi. Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku.. Engkau Maha Adil.. Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah.. Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku.. Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu.. Aku kuat ayah dalam kesakitan ini.. Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku.. Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah.. Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui. Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri. Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu. Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku? Ayah.. aku masih tak rela. Tapi aku harus ikhlas menerimanya. Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku. Ayah.. aku kangen ayah..
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda.. Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini. Aku akan selalu membawakan mu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri. Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur. Bunda akan selalu hidup dihati ayah. Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah.. Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah dicreambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya. Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu.. Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus. Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda.. Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui. Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku.. Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat ditidurmu yang panjang. Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu mengiyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kamu difitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja. Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana? Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia di alam sana? Tunggulah Ayah disana Bunda.. Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon.. Ayah Sayang Bunda..
****************************************************************************************

==================================================================

(Kisah ini didapat dari blog tetangga sebelah)

Sabtu, 04 Desember 2010

Read and Think It !

Kadang kita bertanya dalam hati dan menyalahkan Tuhan, ”Apa yang telah saya lakukan sampai saya harus mengalami kejadian buruk ini semua ?” atau “Kenapa Tuhan membiarkan ini semua terjadi pada saya ?”

Here is a wonderful explanation...

Seorang anak memberitahu ibunya kalau segala sesuatu tidak berjalan seperti yang dia harapkan. Dia mendapatkan nilai jelek dalam raport, dan sahabat terbaiknya pindah ke luar kota. Saat itu ibunya sedang membuat kue, dan menawarkan apakah anaknya mau mencicipinya, dengan senang hati dia berkata, “Of course mom, I love Your cake.”
“Nih, cicipi mentega ini ?” kata Ibunya menawarkan. “Yaiks..” ujar anaknya. “Bagaimana dengan telur mentah ?” “You’re kidding me, Mom..", “Mau coba tepung terigu atau baking soda ?”, “Mom, semua itu menjijikkan.." Lalu Ibunya menjawab, ”Ya, semua itu memang kelihatannya tidak enak jika dilihat satu per satu. Tapi jika dicampur jadi satu melalui satu proses yang benar, akan menjadi kue yang enak.” 

Seringkali kita bertanya kenapa Dia membiarkan kita melalui masa-masa yang sulit dan tidak menyenangkan. Tapi Tuhan tahu jika Dia membiarkan semuanya terjadi satu per satu sesuai dengan rancangan-Nya, segala sesuatunya akan menjadi sempurna tepat pada waktunya. Kita hanya perlu percaya proses ini diperlukan untuk menyempurnakan hidup kita. Tuhan teramat sangat mencintai kita. Dia mengirimkan sinar matahari setiap pagi. Setiap saat kita ingin bicara, Dia akan mendengarkan. Dia ada setiap saat kita membutuhkan-Nya.

"LAMARANMU KU TOLAK!"

Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya, memutuskan untuk melanjutkannya menuju lamaran.
Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain,ayah sang perempuan. Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda.
Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka untuk menyempurnakan agamanya.
Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk ‘merebut’ sang perempuan muda, dari sisinya.
“Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?” tanya sang setengah baya.
“Iya, Pak.” jawab sang muda.
“Engkau telah mengenalnya dalam-dalam?” tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.
“Ya Pak, sangat mengenalnya.” jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
“Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya?  Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!” balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”
“Lamaranmu kutolak. Itu serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya, keras.
Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda. Bisiknya, “Ayah, dia dulu aktivis lho.”
“Kamu dulu aktivis ya?” tanya sang setengah baya.
“Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus”, jawab sang muda, percaya diri.
“Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?”
“Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat..”
“Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?”
Sang perempuan membisik lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho..”
“Kamu lulusan mana?”
“Saya lulusan Teknik Elektro, salah satu kampus terbaik  lho Pak..”
“Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?”
“Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak.”
“Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?”
Bisikan itu datang lagi, “Ayah dia sudah bekerja lho.”
“Jadi kamu sudah bekerja?”
“Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu.”
“Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang... Wong produknya saja nggak terlalu laku..”
“Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?”
Bisikan kembali, “Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya.”
“Rencananya maharmu apa?”
“Sepasang pakaian lengkap buat anakmu.”
“Lamaranmu kutolak. Dia sudah punya banyak. Maaf.”
“Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku.”
Bisikan, “Dia jago IT lho Pak?”
“Kamu bisa apa itu, internet?”
“Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net.”
“Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata.”
“Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu.”
Bisikan, “Tapi Ayah…”
“Kamu kesini tadi naik apa?”
“Mobil Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”
“Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir”
“Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?”
Bisikan, “Ayahh...”
“Kamu merasa ganteng ya?”
“Nggak Pak. Biasa saja kok..”
“Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini.”
“Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!”
Sang perempuan kini berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?”
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah. “Nak, apa adakah yang engkau hapal dari isi Kitab Qur'an?”
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, “Pak, dari Kitab Qur'an, saya hanya hafal sedikit, itupun yang pendek-pendek saja.”
Sang setengah baya tersenyum, “Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih.”
Mata sang muda ikut berkaca-kaca.

Oleh: Nasruddeen Syahrani Sarjyan

Perang Badar


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mendapat berita bahwa kafilah dagang dari kaum kafir Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari perjalanan mereka pulang dari negeri Syam. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan kaum muslimin dan kemudian bersabda, “Aku telah mendapatkan berita bahwa kafilah Abu Sufyan tidak lama lagi akan melintas dari Syam.
Mereka pasti membawa harta yang cukup banyak. Apakah kalian setuju jika kita hadang mereka? Insya Allah, Allah akan memberikan kita kekuatan untuk mengambil harta rampasan dari mereka.” Para sahabat menja¬wab, “Ya, kami setuju wahai Rasulullah.”
Berangkatlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersama sebagian kaum muslimin. Sengaja Rasulullah tidak mengajak seluruh kaum muslimin untuk pergi berperang. Beliau hanya mengajak orang-orang yang hadir di hadapan beliau waktu itu. Bahkan, beliau saat itu sempat tidak mengizinkan orang-orang dari dataran tinggi Madinah untuk datang ke perkumpulan itu. Maka dari itu, beliau pun juga tidak mencela siapa saja yang tidak hadir dan tidak mengikuti peperangan ini.”
Jumlah kekuatan kaum muslimin saat itu adalah 313 orang. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin 82 atau 86 orang, Bani Aus 61 orang, dan kalangan Khazraj 170 orang. Mereka berja¬lan dengan hanya membawa 2 kuda dan 70 unta. Maka, setiap dua orang atau tiga saling bergantian dalam mengendarai satu unta.
Ketika Abu Sufyan menyadari akan bahaya yang mengintai rombongannya, ia mengutus Dhamdham ibn Amru al-Ghaffari agar pulang ke Mekah untuk meminta bala bantuan dari bangsa Quraisy. Dhamdham pun segera pergi ke Mekah.
Sesampainya di Mekah, ia merobek pakaiannya dan kemudian berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy! Celaka, celaka! Harta kalian yang ada di Abu Sufyan sedang diintai Muhammad dan para sahabatnya. Aku tidak yakin kalian akan mendapatkannya kembali, maka selamatkanlah, selamatkanlah mereka!”
Orang-orang Quraisy pun bergegas berangkat pergi untuk membantu kafilah mereka. Di samping itu, mereka juga ingin bertemu secara langsung dengan kaum muslimin dalam sebuah pertempuran. Mereka berharap, bahwa pertempuran kali itu akan menyudahi, kekuatan kaum muslimin yang selama ini selalu merintangi jalur perdagangan mereka. Tidak ada satu pun para pembesar bangsa Quraisy yang tidak ikut dalam penyerbuan kali itu selain Abu Lahab. Namun, ia telah mengutus Ash ibn Hisyam untuk menggantikan posisinya. Ash melakukan hal tersebut sebagai ganti dari hutang yang dimilikinya yang berjumlah sekitar 4.000 dirham. Selain Abu Lahab, tidak ada satu pun keturunan bangsa Quraisy yang tidak hadir dalam peperangan tersebut kecuali Bani Adi.
Jumlah mereka mencapai 1.300 orang. Mereka membawa 100 tentara berkuda, 600 tentara berbaju besi, dan sejumlah unta yang sangat banyak jumlahnya. Pasukan bangsa Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal.
Ketika merasa khawatir dengan ancaman Bani Bakar yang akan melakukan tindakan makar karena permusuhan suku ini terhadap bangsa Quraisy selama ini, kaum Quraisy hampir saja kembali ke Mekah dan mengurungkan niat mereka. Akan tetapi, tiba-tiba Iblis muncul dengan menyamar sebagai Suraqah ibn Malik al-Madlaji, pemimpin Bani Kinanah. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy, “Aku adalah pendukung kalian dari Bani Kinanah. Dan aku menjamin tidak akan ada serangan apapun terhadap kalian dari Bani Kinanah.” Lalu, Mereka pun dengan mantap meninggalkan kota Mekah sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung-kampung dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia, serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 47)
Alkisah, tiga hari sebelum kedatangan Dhamdham ibn Amru di Mekah untuk menyampaikan pesan Abu Sufyan, Atikah binti Abdul Muthalib telah memimpikan peristiwa tersebut. Ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki datang dengan menunggang untanya. Kemudian, ia berdiri di sebuah lembah yang sangat luas dan berkata, ‘Wahai ahli Badar, berangkatlah untuk berperang selama tiga hari.”
Lalu ia menceritakan mimpi itu sebagaimana berikut: Aku melihat orang itu mengambil sebongkah batu besar dan menjatuhkannya dari puncak gunung. Maka, batu itupun meluncur ke bawah hingga hancur berkeping-keping. Akibatnya, setiap rumah atau bangunan yang kemasukan oleh kepingannya pun hancur.
Abu Sufyan selalu teringat dengan berbagai bahaya yang berulang kali akan dilancarkan kaum muslimin terhadap dirinya. Karena itu, ketika kafilahnya sudah hampir mendekati Badar, ia menemui Majdi ibn Amru dan menanyakan keberadaan pasukan Rasulullah. Majdi mengatakan, bahwa dirinya baru saja melihat dua orang pengendara unta menderumkan kedua untanya di atas anak bukit. Lalu, keduanya menuangkan air ke tempat minum mereka dan kemudian pergi lagi.
Maka, Abu Sufyan bergegas mendatangi tempat menderumnya kedua unta mereka dan mengambil kotoran keduanya. Lalu, ia meremukkannya hingga mengetahui bahwa kedua unta itu berasal dari Madinah. Lantas, dengan cepat Abu Sufyan mengalihkan rombongannya dari jalan utama yang biasa mereka lalui dan terletak di sebelah kiri Badar. Kemudian, ia membawa kafilahnya menyusuri jalan di tepi pantai yang berada di bagian Barat. Walhasil, akhirnya ia selamat dari bahaya yang mengancamnya. Setelah itu, ia mengirim surat susulan kepada pasukan bangsa Quraisy yang tengah berada di Juhfah. Di dalam surat itu, ia memberitahukan keselamatannya dan mempersilahkan mereka untuk kembali ke Mekah.
Pasukan kaum kafir Mekah pun bersiap-siap untuk kembali. Akan tetapi, Abu Jahal menolak langkah itu. “Demi tuhan! Kita tidak boleh pulang sebelum kita sampai di Badar dan menetap di sana selama tiga hari. Kita akan menyembelih kambing, makan, minum khamr, dan dihibur oleh para penyanyi wanita. Ini, kita lakukan agar orang¬-orang Arab (kaum muslimin) mengetahui keberadaan, arah perjalanan, dan tujuan kita, sehingga mereka tidak berani lagi mengusik kita selamanya. “
Seluruh pasukan Mekah mengikuti perintah Abu Jahal tersebut, kecuali Akhnas ibn Syariq. Ia bersama kaumnya dari Bani Zahrah kembali ke Mekah. Selain Akhnas, Ali ibn Abi Thalib juga ikut kembali ke Mekah. Lalu, bangsa Quraisy terus berjalan sampai mendekati wilayah Badar. Tepatnya, di balik bukit pasir pada bagian bibir lembah paling jauh, sampai ke bagian lembah Badar.
Ketika kedatangan pasukan Quraisy di Badar ini sampai ke telinga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau berunding dengan para sahabatnya tentang langkah apa yang harus mereka lakukan. Ternyata, salah satu kelompok dari pasukan kaum muslimin merasa khawatir bahwa mereka belum siap menghadapi perang sebesar itu. Karena, menurut mereka ini, kekuatan kaum muslimin belum memiliki kemampuan dan perbekalan yang cukup untuk menghadapi perang tersebut. Demikianlah, mereka terus mendebat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu dengan kebenaran sesudah nyata ( bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. Al-Anfal: 5-6) untuk meyakinkan pandangan mereka terhadap beliau. Maka dari itu, Allah berfirman, Kemudian, para pemimpin pasukan Muhajirin angkat bicara. Mereka mendukung pendapat yang menyatakan mereka harus tetap berangkat bertempur menyerang kaum Quraisy. Pendapat ini terlontar dari Abu Bakar, Umar, dan Miqdad ibn Amr. Salah satu perkataan Miqdad adalah, “Rasulullah, laksanakan apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, kami akan selalu menyertaimu. Demi Allah, kami tidak akan mengulangi perkataan Bani Israel kepada Musa, ‘Berpe¬ranglah kamu dan Tuhanmu, karena kami akan tetap diam di sini!’ Sungguh, kami hanya akan berkata, ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu, dan sesungguhnya para pasukan perang telah bersiap menyertai kalian berdua! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya kamu membawa kami ke sebuah tempat yang tertutup (telah dikepung musuh) pun, niscaya kami akan tetap berperang bersamamu tanpa memperdulikan mereka semua.”
Ucapan Miqdad tersebut membuat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahagia. Setelah mendengar pernyataan beberapa pemimpin pasukan kaum Muhajirin, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai orang-orang, siapa lagi yang akan melontarkan pendapatnya kepadaku?” Pertanyaan ini Rasulullah maksudkan untuk memancing pendapat dan pandangan dari para pemimpin pasukan Anshar. Sebab, mereka adalah bagian terbesar dari tentara Islam waktu itu.
Lantas, Sa’ad ibn Muadz-pembawa bendera Anshar-pun angkat suara. Ia memahami maksud perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Maka, ia pun segera bangkit dan berkata, “Demi Allah, benarkah yang engkau maksudkan adalah kami?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Benar.” Maka Sa’ad berkata, “Kami telah beriman kepadamu, sehingga kami akan selalu membenarkanmu. Dan kami bersaksi bahwa ajaran yang engkau bawa adalah benar.
Karena itu, kami berjanji untuk selalu mentaati dan mendengarkan perintahmu. Berangkatlah wahai Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jika itu yang engkau kehendaki. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan nilai-nilai kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu. Sungguh, tidak akan ada satu pun tentara kami yang akan tertinggal dan kami tidak takut sedikit pun kalau memang engkau memper¬temukan kami dengan musuh-musuh kami esok hari. Sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang terbiasa hidup dalam peperangan dan melakukan pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu berbagai hal dari kami yang dapat memberikan kebahagiaan bagimu. Maka, marilah kita berjalan menuju berkah Allah.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam merasa bahagia dengan ucapan Sa’ad tersebut hingga beliau semakin bersemangat. Kemudian, beliau berkata, “Berjalanlah kalian menuju medan perang dan beritahukan berita gembira ini. Karena, Allah telah menjanjikan kepadaku akan memberi salah satu dari kedua belah pihak. Demi Allah, sekarang ini aku seperti melihat tempat kekalahan kaum Quraisy.” Lalu, mereka pun berangkat.


Ketika  sampai  pada suatu  tempat dekat Badar, Rasulullah pergi lagi dengan untanya sendiri menemui seorang Arab tua. Kepada orang ini beliau menanyakan keberadaan kafilah Quraisy. Dari orang Arab tua itu diketahui, bahwa kafilah Quraisy berada tidak jauh dari tempat itu.
Lalu Rasulullah kembali menemui para sahabat, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Zubair bin’l-Awwam, Sa’d bin Abi Waqqash serta beberapa orang sahabat lainnya. Rasulullah menugaskan mereka untuk mengumpulkan berita-berita  dari  sebuah  tempat  di Badar. Hingga mereka kembali dengan membawa dua orang laki-laki asing. Dari  kedua  orang laki-laki ini Rasulullah mengetahui, bahwa pihak Quraisy kini berada di balik bukit pasir di tepi ujung Wadi.
“Berapa jumlah orang-orang Quraisy itu?” Tanya Rasulullah pada kedua laki-laki itu.
“Kami tidak tahu pasti berapa jumlah mereka” Jawab keduanya.
“Berapa ekor ternak yang mereka potong setiap hari?” Tanya Rasulullah kembali.
“Kadang sehari sembilan ekor, kadang sepuluh  ekor ternak yang mereka potong,”  jawab mereka.

Dengan demikian Rasulullah dapat menyimpulkan, bahwa jumlah mereka antara 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua laki-laki itu dapat diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy juga ikut serta memperkuat kafilah Quraisy. Mau tidak mau, Rasulullah dan para sahabat harus berhadapan dengan suatu golongan yang jumlahnya tiga kali jauh lebih  besar. Mereka harus mengerahkan seluruh semangat, harus mengadakan persiapan mental menghadapi kekerasan  itu. Mereka harus siap menunggu suatu pertempuran sengit dan dahsyat, yang takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat memenuhi kalbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan itu.
Rasulullah mengutus dua orang Muslimin berangkat menuju lembah Badr. Mereka berhenti diatas sebuah bukit tidak jauh dari tempat mata air, dikeluarkannya tempat persediaan airnya lalu mereka dengan air. Tiba-tiba mereka mendengar suara seorang budak perempuan, yang agaknya  sedang  menagih  hutang kepada seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab, “Kafilah  dagang  besok  atau lusa akan datang. Pekerjaan akan kuselesaikan dengan mereka dan hutang segera akan kubayar”.

Kedua laki-laki itu kembali. Disampaikannya apa yang telah mereka dengar itu kepada Rasulullah. Tetapi, sementara itu Abu Sufyan sudah mendahului mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih dulu ada di jalan itu. Sesampainya di tempat mata air ia bertemu dengan Majdi bin ‘Amr dan menanyakan situasi disitu. Majdi menjawab bahwa ia melihat  ada  dua  orang  berhenti  di bukit  itu  sambil  ia  menunjuk ke tempat dua orang laki-laki Muslim tadi berhenti.  Abu  Sufyanpun  pergi  mendatangi tempat  perhentian  tersebut.  Dilihatnya ada kotoran dua ekor unta  dan  setelah  diperiksanya,  diketahuinya,  bahwa   biji kotoran itu berasal dari makanan ternak Yathrib (Madinah).
Cepat-cepat  Abu Sufyan kembali menemui teman-temannya dan membatalkan perjalanannya melalui jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali ia memutar haluan melalui jalan pantai laut. Jaraknya dengan Rasulullah sudah jauh, dan dia dapat meloloskan diri.
Hingga keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah itu akan lewat. Tetapi  setelah ada berita-berita bahwa ia sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang adalah angkatan perang Quraisy, beberapa orang dari kaum muslimin yang tadinya mempunyai harapan penuh akan mendapatkan harta rampasan, terbalik menjadi layu. Beberapa orang diantaranya bertukar pikiran dengan Rasulullah dengan maksud supaya kembali saja ke Madinah, tidak perlu  berhadapan dengan  mereka yang datang dari Mekkah hendak berperang. Ketika itu turunlah firman Allah:
“Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepada kalian bahwa salah satu dari dua golongan yang kalian hadapi adalah untuk kalian, sedang kalian menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untuk kalian, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir”. Q:S 8:7
Pada pihak Quraisy juga begitu. Perlu  apa  mereka  berperang, perdagangan  mereka  sudah selamat? Bukankah lebih baik mereka kembali ke tempat semula, dan membiarkan pihak  Islam  kembali ke tempat  mereka. Abu  Sufyan juga  berpikir  begitu. Itu sebabnya ia mengirim utusan kepada  Quraisy  mengatakan, “Kalian telah berangkat guna menjaga kafilah dagang, orang-orang serta harta-benda kita.  Sekarang  kita sudah  diselamatkan Tuhan. Kembalilah”. Tidak sedikit dari pihak Quraisy sendiri yang juga mendukung pendapat ini.
Tetapi Abu Jahal ketika mendengar  kata-kata ini, tiba-tiba berteriak, “Kita  tidak  akan  kembali  sebelum kita sampai di Badar. Kita akan tinggal tiga malam di tempat itu. Kita  memotong ternak, kita makan-makan, minum-minum khamr, kita minta biduanita-biduanita bernyanyi.  Biar mereka itu mendengar  dan  mengetahui perjalanan dan persiapan kita. Biar mereka tidak lagi mau menakut-nakuti kita”.
Sebab pada waktu itu Badar merupakan  tempat  pesta  tahunan. Apabila pihak Quraisy menarik  diri dari tempat itu setelah perdagangan mereka selamat, bisa jadi  akan  ditafsirkan oleh orang-orang  Arab bahwa mereka takut kepada Muhammad  dan para pengikutnya. Ini berarti kekuasaan Muhammad akan makin  terasa, ajarannya akan makin tersebar, makin kuat. Apalagi sesudah adanya  satuan  Abdullah bin  Jahsy, terbunuhnya  Ibn’l-Hadzrami,  dirampasnya dan ditawannya orang-orang Quraisy.
Orang-orang Quraisy jadi ragu-ragu antara mau ikut Abu Jahal karena takut dituduh pengecut,   atau kembali saja setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau mendengarkan saran Akhnas bin Syariq, orang yang cukup  meraka taati.
Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahal. Mereka berangkat menuju ke sebuah tempat perhentian, di tempat ini  mereka  mengadakan persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan. Lalu mereka berangkat lagi ke tepi ujung wadi, berlindung di balik  sebuah bukit pasir.
Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan,  sudah sepakat akan bertahan terhadap musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu mereka punsegera berangkat ke tempat mata air di Badar itu, dan perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun. Setelah mereka sudah mendekati mata  air, Rasulullah berhenti.
Ada seseorang yang bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh, orang yang paling banyak mengenal  tempat  itu, setelah  dilihatnya Rasulullah turun di tempat tersebut, ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa alasan tuan berhenti di tempat ini? Kalau memang ini adalah wahyu Allah, kita takkan maju atau mundur  setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini hanya sekedar pendapat tuan sendiri dan sebagai suatu taktik perang?”
“Ini hanya sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang,”  jawab Rasulullah. “Wahai Rasulullah,”  katanya  lagi.  “Kalau begitu, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dengan mereka, lalu  sumur-sumur  kering  yang dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak.”
Melihat saran Hubab yang begitu tepat, Rasulullah dan kaum Muslimin segera pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat teman mereka itu, sambil mengatakan kepada para sahabat bahwa beliau juga manusia biasa seperti mereka, dan bahwa suatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama. Beliau tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar musyawarah dengan para sahabat. Beliau perlu sekali mendapat masukan-masukan positif dari sesama mereka sendiri.
Selesai kolam itu dibuat, Sa’ad bin Mu’adh mengusulkan, “Wahai Rasulullah” katanya, “Tidakkah kami perlu membuatkan kemah khusus untuk istirahat tuan serta kami siapkan kendaraan  tuan. Kemudian  barulah  kami  yang  akan menghadapi  musuh. Jika Allah memberi kemenangan kepada kita atas musuh kita, itulah yang kita harapkan. Tetapi kalaupun yang terjadi adalah sebaliknya, dengan kendaraan itu tuan dapat menyusul teman-teman yang  ada di belakang kita. Wahai Rasulullah, masih banyak sahabat-sahabat kita yang tinggal di belakang dan cinta mereka kepada Tuanku tidak kurang dari cinta kami ini kepada tuan. Seandainya mereka tahu bahwa tuan akan dihadapkan pada perang, niscaya mereka tidak  akan  berpisah  dari tuan. Mereka benar-benar ikhlas berjuang  bersama tuan.”
Rasulullah sangat menghargai dan menerima baik saran Sa’ad itu. Dibangunlah sebuah kemah untuk Rasulullah.  Jadi  bila  nanti kemenangan bukan di tangan Muslimin, Rasulullah takkan jatuh ke tangan musuh dan masih akan dapat bergabung dengan para sahabat di Madinah.
Disini orang  perlu  berhenti sejenak dengan penuh kekaguman, kagum melihat kesetiaan  Muslimin yang begitu dalam, rasa kecintaan mereka yang begitu besar kepada Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, serta dengan kepercayaan penuh kepada ajarannya.  Mereka semua mengetahui, bahwa kekuatan Quraisy jauh lebih besar daripada kekuatan mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya. Sungguhpun demikian, mereka sanggup menghadapi, mereka sanggup melawan. Dan mereka inilah yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta  rampasan dari kafilah dagang Abu Sufyan. Namun begitu bukan karena pengaruh materi itu yang mendorong mereka siap bertempur disisi Rasulullah, memberikan  dukungan serta kekuatan. Disisi lain mereka yang juga sangsi, antara harapan akan menang, dan kecemasan akan kalah. Tetapi pikiran mereka selalu hendak melindungi dan menyelamatkan Rasulullah dari tangan musuh. Mereka menyiapkan jalan bagi Rasulullah untuk menghubungi  orang-orang  yang masih tinggal di Madinah.  Suasana yang bagaimana lagi yang lebih patut dikagumi daripada ini?
Selanjutnya pihak Quraisy sudah turun ke medan perang. Mereka mengutus orang yang akan memberikan  laporan  tentang  keadaan kaum Muslimin. Mereka lalu mengetahui, bahwa  jumlah kaum Muslimin lebih  kurang  tiga ratus tiga belas orang, tanpa pasukan pengintai,   tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka  sendiri. Tiada seorang dari mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat membunuh lawan.
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy juga ikut serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan intelektual Quraisy merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan terbunuh, sehingga  Mekkah sendiri nanti akan kehilangan arti.
Kendatipun demikian mereka masih takut kepada Abu Jahal yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut dan penakut. Tiba-tiba  tampil  ‘Utba bin Rabi’a ke hadapan mereka sambil berkata, “Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya.
Kalau dia sampai binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendiri yang akan melihat, bahwa yang  terbunuh itu adalah saudara sepupunya, dari pihak bapak atau pihak  ibu, atau siapa saja  dari keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu.
Kalau dia binasa karena pihak  lain, mungkin itulah yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita inginkan.”
 Mendengar kata-kata ‘Utba, Abu Jahal naik darah. Ia segera memanggil ‘Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan, “Temanmu ini ingin supaya orang  pulang. Kamu sudah melihat dengan  mata kepala sendiri siapa yang harus dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu Amr bin’l-Hadzrami yang tewas ditangan Abdullah bin Jahsy!”
Amir segera bangkit dan berteriak, “Wahai saudaraku! Tak ada jalan lain, mesti perang!”
Dengan dipercepatnya  pertempuran  itu  Aswad  bin ‘Abd’l-Asad keluar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah bin Abd’l-Mutthalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia tersungkur dengan kaki berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam  daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri menyaksikan.
 Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah ‘Utba bin Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid bin ‘Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu  disambut  oleh pemuda-pemuda dari Madinah. Tetapi setelah melihat pemuda-pemuda Madinah ini, ia berkata, “Kami tidak memerlukan kalian! Yang  kami inginkan ialah orang-orang Quraisy yang telah menjadi pengikut Muhammad!”

 Lalu dari mereka memanggil-manggil, “Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari golongan Quraisy itu tampil!”
 Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah bin Abd’l-Mutthalib, Ali bin Abi  Thalib dan ‘Ubaida bin’l-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga  Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, keduanya langsung menebas leher musuh mereka itu hingga tewas. Lalu keduanya segera membantu ‘Ubaida yang kini sedang diterkam oleh ‘Utba.
Setelah Quraisy melihat kenyataan ini mereka semua maju menyerbu. Pada pagi Jum’at 17  Ramadhan itulah kedua pasukan itu berhadap-hadapan muka. Sekarang Rasulullah sendiri yang  tampil memimpin kaum Muslimin, mengatur barisan. Tetapi ketika beliau melihat pasukan  Quraisy begitu besar, sedang pasukan Muslimin sedikit sekali, selain itu perlengkapan yang sangat minim dibanding dengan perlengkapan Quraisy, beliau ia kembali ke kemah ditemani  oleh Abu Bakar. Sungguh Rasulullah cemas pada peristiwa yang akan terjadi hari itu, sungguh  pilu hati beliau melihat nasib yang akan menimpa Islam sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.

Rasulullah kini menghadapkan diri kepada Allah dengan segenap jiwanya, beliau membisikkan kegelisahannya kepada Allah dan menagih apa yang telah Allah janjikan kepadanya Rasul-Nya berupa pertolongan dan kemenangan. Begitu  dalam  ia  hanyut   dalam   doa,   dalam permohonan, sambil berkata:
 “Ya Allah. Sekarang kaum Quraisy telah datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, kami memohon pertolongan-Mu juga yang telah Kau-janjikan kepadaku. Ya Allah, jika sekarang ini pasukan Muslimin binasa, tidak ada lagi orang yang menyembah-Mu”.
 Sementara Rasulullah masih hanyut dalam doa kepada Allah, mantelnya terjatuh. Ketika itu Abu Bakar lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia berkata, “Wahai Rasulullah,  dengan doamu itu Allah akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”
 Tetapi Rasulullah makin terbawa dalam tawajjuh kepada  Allah. Dengan penuh khusyu’ dan kesungguhan hati beliau terus memanjatkan doa, memohonkan isyarat dan pertolongan Allah dalam menghadapi peristiwa yang oleh kaum Muslimin sama sekali tidak diharapkan, untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Hingga Rasulullah pun terangguk dalam keadaan  mengantuk. Dalam pada itu tampak oleh beliau pertolongan Allah itu benar adanya. Ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.

 Sekarang Rasulullah keluar menemui para sahabat, lalu beliau bersabda, “Demi Allah. Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang  mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”
 Jiwa Rasulullah yang telah diberikan oleh Allah begitu kuat melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Kekuatan orang-orang yang beriman itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap orang dari mereka sama dengan dua  orang, bahkan  sama dengan sepuluh orang. Allah pun menurunkan firman-Nya,
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang iman itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang tabah diantara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang tabah diantara kalian, mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepada kalian dan telah mengetahui bahwa ada kelemahan pada kalian. Maka jika ada diantara kalian seratus orang yang tabah, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika diantara kalian ada seribu orang yang tabah, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seijin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. Q:S 8:65-66
 Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Rasulullah membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh.

Rasulullah menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan  perhatiannya  pada pemuka-pemuka  dan  pemimpin-pemimpin Quraisy.  Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka disiksa di Mekkah dulu, dirintangi memasuki Masjid Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya bin Khalaf dan anaknya,  begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekkah dulu. Umayya ini adalah orang yang  pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekkah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya  batu  besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata, “ Ahad, Ahad. Yang Satu, Yang Satu.”
 Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata, “Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!”

Beberapa orang dari kalangan Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia  terbunuh dan akan dibawanya sebagai tawanan. Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak sekeras-kerasnya, “Demi Allah! Wahai Umayya bin Khalaf kepala kafir. Aku takkan selamat jika kau lolos!”.
Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu’adh bin ‘Amr bin Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahal bin Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pejuang-pejuang Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran   sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.

 Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira mereka berseru, “Ahad! Ahad!”. Di hadapan mereka kini  terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai bantuan Allah kepada mereka dengan para malaikat   yang memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga bila  salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan kekuatan Allah.
 Di tengah-tengah medan pertempuran yang sedang sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti  leher orang-orang kafir itu, Rasulullah berdiri, diambilnya segenggam pasir, lalu dihadapkannya  kepada pasukan Quraisy. “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” kata Rasulullah sambil  menaburkan  pasir  itu  kearah  mereka.
Para sahabat lalu diberi komando, “Serbu!”
Serentak pihak Muslimin menyerbu ke depan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah kafir Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Allah SWT.
Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah  bukan  mereka  lagi  yang  menawan tawanan  perang.  Hanya karena adanya semangat dari Allah yang tertanam dalam  jiwa  mereka itu kekuatan moril mereka bertambah.
Dalam hal ini firman Allah turun:
“(Ingatlah), ketika Tuhan kalian mewahyukan kepada para  malaikat:  “Sesungguhnya Aku bersama  kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Akan kutanamkan rasa ketakutan ke dalam  hati  orang-orang  kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. 8: 12)
“Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka,  melainkan  Allahlah yang telah membunuh mereka, dan bukan kalian yang melempar ketika kalian melempar, tetapi Allahlah yang melempar..” (QS. 8: 17)
Tatkala Rasulullah melihat bahwa Allah telah melaksanakan janjiNya dan setelah kemenangan berada di pihak Muslimin, beliau kembali  ke pondoknya.  Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang  tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
Dengan perasaan dongkol kafir Quraisy lari tunggang langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri,  karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua.
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badar. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah lubang besar, mereka semua dikuburkan. Malam harinya Rasulullah dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang  tawanan. Tatkala  malam sudah gelap Rasulullah mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Allah kepada Muslimin yang dengan jumlah begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja.  Pada waktu itu para sahabat mendengar Rasulullah berkata,  
 “Wahai ‘Utba bin Rabi’a! Syaiba bin Rabi’a! Umayya bin Khalaf! Wahai Abu Jahal bin Hisyam! ” – Seterusnya Rasulullah menyebutkan nama orang-orang yang dikubur di dalam lubang besar itu satu per satu -
“Wahai mayat-mayat kafir! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”
“Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah mati?” tanya kaum Muslimim.  
“Mereka lebih mendengar apa yang aku katakan daripada kalian” jawab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”
Ketika itu Rasulullah memandang wajah Abu Hudhaifa ibn ‘Utba. Ia tampak sedih dan murung.
 ”Barangkali ada sesuatu yang kau pikirkan mengenai ayahmu, wahai Abu Hudhaifa”? tanya Rasulullah.
“Tidak, wahai Rasulullah,” jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, aku tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya saja menurutku ayahku adalah orang yang pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi aku sangat berharap ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi setelah aku lihat apa yang terjadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam  kekafiran, maka  makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya sedih.”
Keesokan harinya, ketika Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang ke Madinah,  mulailah timbul pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, untuk siapa seharusnya diberikan. Menurut pendapat Muslimin yang terjun langsung bertempur melawan kafir Quraisy, “Kami yang mengumpulkannya, jadi harta rampasan itu adalah hak kami”. Sedangkan menurut Muslimin yang bertempur di garis depan dan mengejar musuh hingga merampas langsung harta mereka, “Kalau tidak karena kami, kalian tidak akan mendapatkannya, jadi kamilah yang lebih berhak atas harta rampasan itu”.  Sementara  Muslimin yang selalu mengawal dan melindungi Rasulullah karena dikuatirkan adanya serangan musuh dari belakang berpendapat, “Kalian semua tidak ada yang lebih berhak atas harta rampasan itu daripada kami, karena sebenarnya kami pun bisa langsung terjun memerangi musuh dan merampas harta mereka, tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada  Rasulullah, oleh karena itu kami lalu bertugas menjaga Rasulullah.
Ditengah perbedaan pendapat itu kemudian Rasulullah menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada ditangan mereka dan dikumpulkan hingga beliau yang akan memutuskan siapa yang berhak atas harta itu atau sampai ada petunjuk dari Allah SWT.  
Rasulullah mengutus Abdullah bin Rawaha dan Zaid bin Haritsa berangkat terlebih dahulu ke Madinah untuk menyampaikan berita gembira tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedangkan Rasulullah bersama para sahabat menyusul berangkat ke Madinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah diperolehnya dari  kafir Quraisy.  

Mereka pun berangkat. Setelah sampai di kawasan Shafra’, diatas sebuah bukit pasir Rasulullah berhenti. Di tempat inilah Rasulullah mendapat petunjuk dari Allah mengenai rampasan perang. Allah berfirman, “
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan,  jika kalian benar-benar  beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari yang menentukan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. 8: 41)
Setelah rampasan perang itu diambil seperlima untuk sabilillah, sisa yang empat perlimanya dibagi secara  merata di kalangan Muslimin yang ikut berperang, bagian mereka yang gugur  di Badar diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Madinah dan tidak ikut ke Badar karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badar tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu dibagi secara adil.  Muslimin yang mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan siapa saja yang ikut bekerja kearah itu,  baik  yang di garis depan atau yang jauh dari sana.
Sementara  kaum  Muslimin dalam perjalanan ke Madinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’l-Harits dan yang seorang lagi bernama  ‘Uqba  bin Abi Mu’ait.  Sampai saat itu baik Rasulullah maupun para sahabat belum membuat suatu peraturan tertentu tentang para tawanan itu, apakah akan dibunuh, di minta tebusan pada orang-orang Quraisy atau dijadikan budak. Sementara Nadzr dan ‘Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu  mengancam Muslimin selama di Mekkah dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu kaum Muslimin.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah ketika sampai di wilayah Uthail para  tawanan  itu diperlihatkan  kepada Rasulullah. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang sedemikian rupa,  hingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang berada di sampingnya,  
“Muhammad pasti akan membunuhku,” katanya. “Ia menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut.”
“Itu hanya karena kau merasa takut saja,” jawab orang yang di sebelahnya.
Nadzr pun berkata kepada Mush’ab bin ‘Umair, Muslimin yang ia anggap paling banyak punya rasa belas-kasihan, “Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia  akan membunuhku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Rasulullah,”  kata  Mush’ab, “Dulu kau menyiksa para sahabat Rasul.”
“Wahai Mushab, andaikan kau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi merayu.
“Kau tak bisa dipercaya,” kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak sepertimu. Janji Islam denganmu sudah terputus.”
Sebenarnya  Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini Miqdad ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dari keluarganya. Mendengar percakapan tentang  akan dibunuhnya Nadzr, Miqdad segera berteriak, “Nadzr tawananku..!,”.
“Penggal lehernya,” kata Rasulullah, “Ya  Allah..Semoga  Miqdad mendapat karuniaMu.”
Ali bin Abi Thalib pun mengayunkan pedangnya, maka tewaslah Nadzr bin-l Harits.
Ketika mereka telah sampai di ‘Irq’z-Zubya Rasulullah memerintahkan agar  ‘Uqba  bin  Abi  Mu’ait juga dibunuh.
Sehari sebelum Rasulullah dan Muslimin sampai di Madinah kedua utusan beliau Zaid bin Haritsa dan Abdullah bin Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berbeda. Dari atas unta yang dikendarainya itu Abdullah  mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada kaum Anshar penduduk Madinah tentang kemenangan Rasulullah dan para sahabat, sambil  menyebutkan siapa-siapa dari  pihak kafir Quraisy yang terbunuh. Begitu juga Zaid bin Haritsa melakukan hal yang sama sambil menunggang Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, sedangkan mereka yang masih berada di dalam rumah pun berhamburan keluar menyambut berita kemenangan besar ini.





Oleh:  Ust. H. Dave Ariant Yusuf